Rabu, 04 November 2009

Memaknai Syukur

Setiap kita memperoleh nikmat dari Allah SWT. Kita diwajibkan bersyukur kepada-Nya. Secara tepat syukur didefinisikan sebagai mempergunakan nikmat Allah di jalan yang dikehendaki-Nya.

Akan tetapi, manifestasi bersyukur dalam bentuk di atas sering kali bergeser menjadi bentuk lain, ketika nikmat dihubungkan dengan satu ayat dalam Surah Adh-Dhuha. Ayat tersebut berbunyi, Wa amma bi ni’mati Rabbika fahaddits yang berarti, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaknya engkau menyebut-nyebutnya”.

Dengan pemberian arti seperti itu, ayat ini sering kali dipahami sebagai perintah untuk menyebut-nyebut dan membicarakan nikmat yang kita terima dari Allah kepada orang lain. Akibatnya, ketika seseorang meraih keuntungan dalam bisnis, memperoleh kenaikan pangkat, anaknya jadi insinyur, dan sejenisnya, dia lalu mengundang tetangga, kawan dan teman sejawat untuk “bersyukur” dengan acara makan-makan.

Padahal fahaddits (dengan dua dal pada ayat di atas) memiliki makna yang lebih mendalam dari sekadar “membicarakan”. Ia lebih tepat jika diartikan “membuat(-nya) berbicara”. Artinya, ketika seseorang menerima nikmat dari Allah, dia harus menjadikan nikmat tersebut berbicara.

Nikmat dan anugerah Allah kepada manusia, sungguh tak terbilang banyaknya. Seluruh anggota tubuh kita, dari ujung rambut hingga ujung jari kaki, sejak otak hingga hati, adalah nikmat Allah yang tak terhingga nilainya. Akan tetapi karena sejak lahir semuanya itu sudah kita “miliki”, maka kita cenderung untuk tidak menyebutnya sebagai nikmat dan anugerah. Yang kita sebut sebagai nikmat, biasanya, adalah pemberian-pemberian Allah yang incidental tadi: naik pangkat, dapat keuntungan dalam bisnis, lulus perguruan tinggi.

Terlepas dari itu semua, yang jelas seluruh nikmat tersebut harus kita buat “berbicara” kepada sesama manusia. Makanya nikmat tersebut harus betul-betul membawa manfaat bagi sesama, dan tidak sekadar bagi diri kita sendiri. Jika hari ini kita memiliki tangan, maka tangan kita mesti bermanfaat bagi umat manusia. Jika kita merasa bahwa Tuhan telah memberi anugerah otak kepada kita, maka otak kita harus memberi manfaat dan berbicara apa yang dikerjakannya bagi orang lain. Dan jika saat ini kita memperoleh rezeki cukup banyak dari Allah, maka rezeki itu pun harus dapat berbicara dalam bentuk amal-amal bagi kepentingan diri dan kepentingan sesama.

Sesudah itu, seluruh nikmat tersebut hendaknya dapat pula berbicara di hadapan Tuhan di akhirat kelak, dalam bentuk laporan yang padat dengan amal. Dengan begitu, maka bersyukur atas nikmat Allah berarti kehadiran. Yakni, kehadiran nikmat yang kita peroleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan. Karenanya, jika usia kita merupakan anugerah dan nikmat Allah, maka usia itu pun mesti hadir di hadapan manusia dan di hadapan Allah dengan amal-amalannya.

Maka dari itu agar nikmat tersebut tidak mejadi sia-sia. Hendaknya tidak ada di antara kita yang hidup selama 50 tahun di dunia ini, tanpa ada satu pun dari waktu kita yang tidak berbicara kepada umat manusia dalam bentuk kebaikan-kebaikan. Dengan begitu, bersyukur juga punya dimensi kesejarahan dalam bentuk kehadiran kita di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Link Sahabat

Related Posts with Thumbnails